Ketika Uang Dituhankan

Indonesia, terkenal dengan kepadatan populasi penduduknya, hampir 250 juta jiwa lebih.
Lantas, apakah ini berarti di setiap daerah semakin padat dan sumpek sehingga tidak ada sedikit pun ruang untuk bergerak?
Tidak!! Indonesia masih punya banyak stock daerah kekuasaan dan kekayaan yang berlimpah. Lalu apa hubungan statement ini dengan judul diatas.
Tunggu dulu, jangan tergesa-gesa bung! Israel masih sibuk dengan Lebanon-nya dan belum ingin membombardir negara kita.
Mungkin, menjadi suatu ‘kebanggaan’ Indonesia meraih peringkat negara dengan populasi terbanyak, setelah juara satunya diraih oleh China (bangga jugakah anda ???).
Tapi, apakah menjadi suatu ‘kebanggaan’, ketika Indonesia meraih prestasi sebagai negara korupsi dengan ‘indeks’ yang demikian tinggi? Andaikan saya penerima ‘medali’ coruption award, tanpa pikir panjang akan saya masukkan kedalam strongbox (brankas ; lemari besi) dan saya lempar jauh-jauh ke dasar laut.
Indonesia memang kaya. Kaya dengan SDA-nya, kaya dengan penduduknya. Namun ironisnya, masyarakat Indonesia tidak bisa memanfaatkan ‘kekayaannya’ itu. Dan bahkan mereka mengambil jalan tikus (baca ; jalan pintas) dengan melakukan ‘malpraktek’ dalam menjemput livelihood (nafkah) dari-Nya. Seperti praktek perdukunan, pesugihan, ngepet, sogok-menyogok, dan aksi menjijikkan menikmati korupsi.
Ketika uang menjadi begitu sakral, dan mengubah orang menghambakan diri padanya, dengan siang-malam-nya dihabiskan untuk memburu lembar demi lembar benda ini, sehingga jatuh dalam keasyikan hidup diluar koridor Rabb-nya, “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.” Q.S Ad-Dzariyat : 56. Ketika orang tua menginstal (baca : memasang) program pada memori anaknya, berupa kewajiban nilai sempurna disekolah mereka, ketika tujuan terakhir pendidikan adalah meraih pekerjaan dengan gaji selangit (kalau bisa sebumi sekalian), ketika bahagia senilai dengan kaya harta dan mobil mewah.
Akhirnya inflasi nilai hidup-pun menjadi begitu tinggi.Tak ayal manusia jatuh pada kebingungan, ngapain lagi hidup ini??
Banyak remaja yang lari ke narkoba, banyak manusia menjadi depresi, banyak orang tua yang bunuh diri. Mereka bingung tak bisa menemukan jawaban sebenarnya kenapa mereka hidup, apa sebetulnya tujuan hidup ini, dan bingung tak bisa menemukan jati dirinya.
Mereka sungguh lupa akan esensi visi hidupnya di dunia ini. Di sisi lain, ilmu-ilmu agama untuk bekal di akherat kelak, mengalami degradasi (hanya sebagai pelajaran sekolah untuk mengatrol nilai murid). Nafkah dicari tanpa etika, ‘sikut kiri-sikut kanan’. Dan yang lebih tragis, banyak yang menjual iman dan keikhlasannya hanya demi sebungkus mie instan atau sesuap nasi.
Rezeki ternyata sudah ditentukan oleh Allah di atas kepala kita, tinggal bagaimana usaha dan upaya kita untuk menjemputnya,“Dan tidak ada satupun makhluk (bernyawa) di muka bumi melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya, dan dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”QS. Hud : 6.
Sekarang, bergunakah berebut harta setelah tahu bahwa rezeki manusia telah dijatah (baca : ditentukan ) oleh Allah swt.
Walhasil, survey membuktikan bahwa masyarakat dunia, wa bil khusus Indonesia, terlalu gampang terbuai kebahagiaan (baca : kenikmatan) duniawi melalui uang, dan melupakan kebahagian absolut alam yang kekal, yakni alam akherat.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt menerangkan bahwa harta dan anak-anak kita adalah fitnah atau cobaan. Yang dalam kondisi apapun seyogianya kita tidak terjerumus dalam sifat-sifat materialisme dan berorientasi pada kehidupan dunia semata.
Sangat sulit memang untuk memberantas praktek korupsi, perdukunan, dan sebagainya. Butuh waktu yang tidak sebentar, jauh lebih panjang dari Rencana Pemangunan Jangka Panjang (Repelita)-nya Soeharto dulu. Mungkin hanya ada satu solusi ketika uang dituhankan. Yaitu, mengimplementasikan prinsip-prinsip ajaran tasawuf yang sarat dengan pembenahan akhlak ke dalam kehidupan kontesktual. Tetapi bukan sufi yang lari dari kenyataan,

0 Comments:

Post a Comment