Solidarity is Unity


Saat ini, alam sedang menjerit, merintih dengan dukanya akibat perbuatan-perbuatan makhluk bumi yang sewenang-wenang. Berbuat semaunya tanpa memikirkan sesama. Penindasan. pengintimidasian, persengketaan terjadi dimana-mana. Bahkan yang tak kalah ngerinya adalah yang saat ini melanda Lebanon. Israel dengan congkaknya memuntahkan nuklir hingga memporak-porandakan Lebanon. Sadarkah bahwa dunia ini bukan milik manusia?
Lalu, bagaimanakah reaksi masyarakat Indonesia ketika mendengar Lebanon kini tinggal puing-puing berserakan? Apa yang bisa dilakukan muslim Indonesia ketika melihat Lebanon dibombardir????. Apa jadinya, andai Indonesia yang menjadi victim (korban) kebuasan Israel?? Masihkah kita terdiam sambil membusungkan dada tanpa tidak mau peduli sama sekali?

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, diharapkan mampu memberikan kontribusi signifikan dalam mengubah wajah dunia, terutama dunia Islam, ke arah yang lebih damai, sejahtera, dan adil. Kaum muslimin seharusnya mampu menciptakan perdamaian dalam masyarakat dimana mereka hidup. Islam merupakan agama ‘peace love’ (cinta damai). Ini berarti, perdamaian harus terus dipromosikan, ditingkat keluarga, masyarakat, negara, bahkan di tingkat global,. Perdamaian akan melahirkan situasi kondusif bagi umat Islam untuk maju. Seyogianya umat Islam mampu mengatasi masalah dunia, bukan pembuat masalah.
Abdullah Ahmad Badawi - ketua OKI yang juga PM Malaysia - dalam konferensi International Conference of Islamic Scholars (ICIS), mengatakan, ia melihat hubungan Islam dan Barat yang bisa menjurus ke arah yang lebih buruk, karena ulah manusia, bukan karena takdir. Sebagai muslim, menurut Badawi, kita harus mengambil bagian dalam memulihkan keretakan di antara ummah melalui kata dan perbuatan bahwa Islam adalah agama moderat, yang menolak ekstremisme, fanatisme, terutama terorisme. Kita harus tegakkan solidaritas, bangun pendidikan yang memperkuat nilai-nilai pengertian, toleransi, dan dialog sesuai ajaran Islam. Selanjutnya, menurut beliau, muslim yang benar adalah yang menegakkan keadilan, melawan tirani, mengupayakan kebebasan dan ketertindasan, terhormat, dan jujur, serta yang universal dan inklusif dalam kata dan perbuatan, jangan ekslusif. Muslim di mana pun yang berusaha hidup berdasarkan ajaran Islam, mempraktekan moderasi, nilai-nilai universal Islam dalam Al-Qur’an, adalah pemenang.

Dialog antara Islam dan Barat tak akan berhasil bila tidak diikuti aksi-aksi nyata. Tidak hanya harus melahirkan saling pengertian, tapi juga harus membetulkan yang salah. Itu bisa bermakna me-review sejumlah kebijakan domestik yang tidak adil, dan pada level global mengkaji ulang kebijakan yang menyebabkan ketidakadilan terhadap orang atau negara lain. Kita harus menerapkan nilai-nilai Islam untuk memecahkan persoalan umat manusia saat ini. Hal tersebut meliputi upaya memajukan penghormatan HAM, demokratisasi, pendidikan, kesehatan, dan pemberantasan korupsi serta perang terhadap produksi dan peredaran narkoba. Sehingga akan muncul keseimbangan di dunia internasional dalam memandang dan memahami Islam. Di sisi lain, kaum muslimin sendiri sebenarnya memilki kapasitas dan kompetensi untuk menangani berbagai tantangan berat untuk membumikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, penebar rahmat bagi alam semesta. Bukan hanya rahmat bagi pribadi atau kepentingan golongannya saja.
Umat Islam yang moderat ialah yang memelihara solidaritas antar sesama muslim, dan selalu mendukung pihak yang lemah demi kemanusiaan dan perdamaian. Umat Islam harus berusaha menyatukan sumber daya, terutama sumber keuangan dan membangun hubungan lebih erat, serta menigkatkan solidaritas antara umat Islam dan dunia.
Sebetulnya, masih banyak kebajikan Islam yang perlu kita tebarkan, masih banyak kasih dan perdamaian yang perlu kita perkenalkan.

Ketika Uang Dituhankan

Indonesia, terkenal dengan kepadatan populasi penduduknya, hampir 250 juta jiwa lebih.
Lantas, apakah ini berarti di setiap daerah semakin padat dan sumpek sehingga tidak ada sedikit pun ruang untuk bergerak?
Tidak!! Indonesia masih punya banyak stock daerah kekuasaan dan kekayaan yang berlimpah. Lalu apa hubungan statement ini dengan judul diatas.
Tunggu dulu, jangan tergesa-gesa bung! Israel masih sibuk dengan Lebanon-nya dan belum ingin membombardir negara kita.
Mungkin, menjadi suatu ‘kebanggaan’ Indonesia meraih peringkat negara dengan populasi terbanyak, setelah juara satunya diraih oleh China (bangga jugakah anda ???).
Tapi, apakah menjadi suatu ‘kebanggaan’, ketika Indonesia meraih prestasi sebagai negara korupsi dengan ‘indeks’ yang demikian tinggi? Andaikan saya penerima ‘medali’ coruption award, tanpa pikir panjang akan saya masukkan kedalam strongbox (brankas ; lemari besi) dan saya lempar jauh-jauh ke dasar laut.
Indonesia memang kaya. Kaya dengan SDA-nya, kaya dengan penduduknya. Namun ironisnya, masyarakat Indonesia tidak bisa memanfaatkan ‘kekayaannya’ itu. Dan bahkan mereka mengambil jalan tikus (baca ; jalan pintas) dengan melakukan ‘malpraktek’ dalam menjemput livelihood (nafkah) dari-Nya. Seperti praktek perdukunan, pesugihan, ngepet, sogok-menyogok, dan aksi menjijikkan menikmati korupsi.
Ketika uang menjadi begitu sakral, dan mengubah orang menghambakan diri padanya, dengan siang-malam-nya dihabiskan untuk memburu lembar demi lembar benda ini, sehingga jatuh dalam keasyikan hidup diluar koridor Rabb-nya, “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.” Q.S Ad-Dzariyat : 56. Ketika orang tua menginstal (baca : memasang) program pada memori anaknya, berupa kewajiban nilai sempurna disekolah mereka, ketika tujuan terakhir pendidikan adalah meraih pekerjaan dengan gaji selangit (kalau bisa sebumi sekalian), ketika bahagia senilai dengan kaya harta dan mobil mewah.
Akhirnya inflasi nilai hidup-pun menjadi begitu tinggi.Tak ayal manusia jatuh pada kebingungan, ngapain lagi hidup ini??
Banyak remaja yang lari ke narkoba, banyak manusia menjadi depresi, banyak orang tua yang bunuh diri. Mereka bingung tak bisa menemukan jawaban sebenarnya kenapa mereka hidup, apa sebetulnya tujuan hidup ini, dan bingung tak bisa menemukan jati dirinya.
Mereka sungguh lupa akan esensi visi hidupnya di dunia ini. Di sisi lain, ilmu-ilmu agama untuk bekal di akherat kelak, mengalami degradasi (hanya sebagai pelajaran sekolah untuk mengatrol nilai murid). Nafkah dicari tanpa etika, ‘sikut kiri-sikut kanan’. Dan yang lebih tragis, banyak yang menjual iman dan keikhlasannya hanya demi sebungkus mie instan atau sesuap nasi.
Rezeki ternyata sudah ditentukan oleh Allah di atas kepala kita, tinggal bagaimana usaha dan upaya kita untuk menjemputnya,“Dan tidak ada satupun makhluk (bernyawa) di muka bumi melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya, dan dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”QS. Hud : 6.
Sekarang, bergunakah berebut harta setelah tahu bahwa rezeki manusia telah dijatah (baca : ditentukan ) oleh Allah swt.
Walhasil, survey membuktikan bahwa masyarakat dunia, wa bil khusus Indonesia, terlalu gampang terbuai kebahagiaan (baca : kenikmatan) duniawi melalui uang, dan melupakan kebahagian absolut alam yang kekal, yakni alam akherat.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt menerangkan bahwa harta dan anak-anak kita adalah fitnah atau cobaan. Yang dalam kondisi apapun seyogianya kita tidak terjerumus dalam sifat-sifat materialisme dan berorientasi pada kehidupan dunia semata.
Sangat sulit memang untuk memberantas praktek korupsi, perdukunan, dan sebagainya. Butuh waktu yang tidak sebentar, jauh lebih panjang dari Rencana Pemangunan Jangka Panjang (Repelita)-nya Soeharto dulu. Mungkin hanya ada satu solusi ketika uang dituhankan. Yaitu, mengimplementasikan prinsip-prinsip ajaran tasawuf yang sarat dengan pembenahan akhlak ke dalam kehidupan kontesktual. Tetapi bukan sufi yang lari dari kenyataan,

;;